Jumat, 23 November 2012

Cerpen : Para Pemecah Batu (1)

ilustrasi http://sandrotob.blogspot.com
Marini tersenyum…

Pagi yang telah ditunggu dan menggelisahkannya sejak semalam telah datang. Matanya secerah langit dan berbinar sebenderang mentari pagi. Senyumnya sama cerianya dengan suasana pagi ini.

“Hari ini kau akan mewawancarai orang-orang itu!” kata Marini pada sebuah foto berukuran kecil yang ada pada tanda pengenal yang dipegangnya.

Marini Sudarto.

Demikian namanya tertera pada tanda pengenal itu. Tanda pengenal dirinya sebagai seorang wartawan harian lokal.

Marini mengalungkan tali tanda pengenalnya melingkari leher, dan tanda pengenal itu sendiri masuk kedalam saku bajunya. Sesaat ia mematut diri didepan cermin, mengedipkan sebelah mata dan tangan kanannya mengacungkan sebuah isyarat berupa kombinasi ibu jari dan telunjuknya, “Darrr!”

Ia melangkah keluar dengan langkah berbeda, jauh lebih bersemangat dari langkah kali pertama saat dirinya resmi menjadi wartawan.

Sungguh, ini pekerjaan yang diidamkannya, penuh tantangan dan ia sangat menikmati. Ia ingin harian lokal itu tak sekedar sebagai koran lokal biasa. Ia ingin ikut memberi warna yang berbeda. Ia ingin seperti saat membuat majalah dinding sekolah dulu tiba-tiba menjadi pilihan teman-temannya selain kantin pada jam istirahat, oleh terobosan yang dilakukannya.

Mewawancarai seseorang, mengorek hal-hal yang luar biasa dari mereka, mencari sudut pandang dari sebuah peristiwa, selalu merupakan tantangan yang menghadirkan sejuta sensasi.

“Marini berangkat dulu, Ma!”

Ia mencium tangan mamanya yang terduduk lemah disebuah kursi roda. Seperti biasa, mamanya hanya bisa mengangguk-angguk tanpa bisa berkata apa-apa. Marini tertegun sejenak. Mama adalah semangat baginya.

-------

Marini tiba di base camp, istilah untuk menyebut sebuah tempat dipinggiran Kali Progo dimana orang-orang itu bekerja mengumpulkan batu kali dan dipecahkan secara manual dengan martil untuk membuat batu split. Dibawah tenda-tenda dari terpal atau plastik.

Entahlah, tiba-tiba ia tertarik untuk menemui orang-orang itu. Ia melihat mereka ketika ia datang ditempat itu untuk meliput berita saat Jembatan Trinil yang berada didekat base camp yang ambrol beberapa bulan sebelumnya. Wajah-wajah memelas perempuan-perempuan yang duduk seharian memecahkan batu-batu. Ia ingin mencari sisi lain yang mungkin tak pernah terangkat kepermukaan.

“Selamat pagi, Ibu!” Marini menyapa seorang perempuan tua. Ia berlindung dibawah sebuah tenda plastik, tangannya terus memukul dan memukul. Tempatnya agak berjauhan dengan yang lainnya.

“Selamat pagi.” jawab perempuan tua itu. Ekspresinya tampak datar saja pada Marini. Mulanya Marini sedikit merasa tak berlega hati ketika keramahan dan senyum yang ia tawarkan untuk menjalin keakraban tak bersambut. Tapi sesaat kemudian ia mencoba untuk memakluminya saja, mungkin kekerasan batu-batu itu tidaklah seberapa keras dari keras hidupnya, hingga ia pun sekeras dan sedingin batu.

Batu juga bisa dipecahkan!’ batin Marini kemudian untuk menghibur hatinya sendiri.

Saat menerima jabat tangan Marini pun, wajah perempuan tua itu tetap datar tanpa senyum sedikitpun, bahkan sorot matanya menyiratkan tatapan penuh kecurigaan.

“Saya Marini, boleh saya tahu nama Ibu?”

“Rujiyah…” perempuan itu ragu-ragu menyebut namanya sendiri. Marini kembali menawarkan senyumnya. Perempuan itu meliriknya sekilas dengan tangannya tetap pada pukulan demi pukulannya.

“Kalau boleh saya tahu, Ibu Rujiyah tinggal dikampung mana?”

“Di atas sana, Mbak!” jawab perempuan tua singkat sambil  mengangkat tangan kanannya yang memegang martil menunjuk kearah belakangnya. Marini mengerti. Pandangannya menyeberang Kali Progo dan menaiki jalanan menanjak kearah barat, kearah dimana Gunung Sumbing berdiri biru tegak.

“Semua orang itu juga dari kampung Ibu?”

Perempuan itu menggeleng,”Ada beberapa yang dari kampung lain.” katanya,”Ada apa, Mbak?”

Marini mencoba tetap tersenyum meskipun ia merasakan ketidakramahan perempuan tua itu. Perempuan tua itu tak seperti kelihatannya yang memelas. Kata-katanya tak ubahnya batu-batu yang sedari tadi dipukulinya.

“Tidak ada apa-apa Ibu, saya hanya sering lewat jalan sini, melihat Ibu dan teman-teman Ibu yang lain bekerja keras memecah batu.” jelas Marini, sebisanya ia terus mencoba meruntuhkan kekakuan perempuan itu.

“Saya kira Mbak ini wartawan!” kata perempuan itu. Marini merasa darahnya tersirap demi mendengar ucapan perempuan itu. Memang kenapa kalau wartawan? Pikirannya mengurai bermacam pertanyaan. Janggal rasanya mendengar kata-kata demikian dari perempuan dengan mimik wajah memelas itu. Adakah sesuatu disini?

Mestinya begitu, kalau tidak, tak mungkin perempuan itu bersikap demikian tak bersahabat dan melontarkan kata-kata seperti itu. Marini tiba pada sebuah kesimpulan. Kesimpulan yang membuat rasa ingin tahu memenuhi benaknya.

“Saya bukan wartawan Bu.” Marini memilih tak mengakui dirinya. Mungkin ini tidaklah baik, tapi rasanya ia takkan mendapatkan apapun kalau ia mengakui dirinya. Perempuan itu, dan mungkin orang-orang disini tak menginginkan wartawan. Kata-kata perempuan itu sepertinya bukan kata-kata yang lahir dari pemikirannya sendiri.

Sekarang perempuan itu tersenyum. Jadi itu? Ada apa ini?

Bersambung.
Load disqus comments

4 komentar