Minggu, 13 Juli 2014

Aku dan Cemburu

Pagi ini aku baru sadar kalau ternyata aku juga bisa cemburu. Meski aku mengakuinya dengan berat hati. Hingga semalam aku masih enggan mengakui itu, dan bertahan untuk mengukuhkan diri sebagai laki-laki paling toleran dan cuek.
Tapi ketika bangun dan teringat akan laki-laki ganteng yang memboncengkan Airin dua hari lalu, yang memicingkan matanya padaku dan Airin menggelayut mesra, aku jadi tak yakin kalau aku tak terbakar hawa panas yang bernama cemburu…
Mungkin benar laki-laki ganteng itu temannya dan tak ada apa-apanya. Tapi aku tak yakin jika laki-laki itu, tak naksir Airin!
“Oke, aku kalah, aku cemburu. Tapi, kamu tak selingkuh kan?” Aku menceracau sendiri dalam gelisahku di tepi kasur.
“Kamu masih kuat bertahan kan Airin? Kamu belum akan meninggalkan aku bukan?”
Aku bangkit dan melihat diriku sendiri di kaca cermin.
“Kamu mulai tak percaya diri karena pacarmu ini sampai detik ini masih pengangguran, dan entah hingga berapa milyar detik ke depan?”
Entahlah, mungkin memang benar bahwa menganggur akan membuat orang menjadi sensitif. Mungkin aku tak akan cemburu kalau aku ini,bekerja ! Dan, punya uang! Jangankan melihat Airin dibonceng laki-laki itu, Airin diambil pun mungkin tak akan membuat aku menganggapnya sebagai kiamat dunia, walaupun sampai saat ini memang hanya Airin yang terbaik untukku, dan mengerti aku. Tapi ada kan gadis lain yang mungkin lebih baik darinya?
Ya! Tapi sekali lagi itu kalau aku bukanlah penganggur ! Dalam kenyataan yang tak sejalan ini, pagi menjadi terasa mungkin seperti pagi di Pearl Harbor, saat serangan udara Kamikaze bagaikan ribuan lebah yang memporak-porandakan pasukan Amerika yang masih leha-leha.
Ini tidaklah baik untukku. Aku jadi enggan untuk mandi. Yang terlintas dibenakku hanya ingin marah. Mulutku hampir tak berhenti bergumam, sebelum akhirnya aku sadar bahwa ini tak menyelesaikan apapun, kecuali menambah beban mentalku.
Semangkuk Mie Instan kemudian sejenak membuatku bisa meredakan kegelisahan yang tiba-tiba menggerayangi di pagi yang sebenarnya cerah ini. Membuatku lupa untuk mencuci muka dan… mungkin ini poin jelek lain dari penganggur. Sensitif, gelisah, dan selalu lapar…!
Masuk akal kalau Airin mulai tak percaya diri. Mungkin saat ini dia tengah berpikir untuk mempertimbangkan lagi soal posisinya sebagai pacarku, karena melihat aku yang terus menerus deadlock.
Sayangnya tivi yang kunyalakan kemudian malah membuatku kembali pada kegelisahan yang sempat mereda itu. Entah itu sindiran untukku atau aku yang terlalu dalam berpikir. Hampir setiap stasiun tv menyajikan menu gosip orang terkenal tentang romantika kehidupannya, perselingkuhan, perceraian, yang bagiku sangat mengerikan untuk ku tonton saat ini.
Kalau aku orang terkenal, mungkin wartawan-wartawan itu akan datang padaku dan memenuhi teras rumahku.
“Bagaimana tanggapan anda tentang Airin yang berboncengan mesra dengan laki-laki ganteng itu tempo hari?”
Apa yang akan aku katakan ? apa aku harus ikut-ikutan bersikap pura-pura cuek dan sok gentle dengan mengatakan bahwa aku biasa-biasa saja dan meyakinkan mereka bahwa itu hanya teman Airin, sementara aku sebenarnya cemburu dan bukan main gelisahnya aku karena itu.
Apa kabar hati kecilku?
Apa?
Aku cemburu! Kata itu terus bergema berulang-ulang di dinding hatiku.
Apa yang akan kamu katakan Airin, kalau aku ceritakan kegelisahan ini, rasa cemburu ini. Kamu akan tersanjung dan menguatkan peganganmu pada keyakinan janji kita, lalu kamu mencoba meyakinkanku? Atau akan kamu picingkan matamu yang bening itu dan kamu tambah dengan senyum sinis karena pacarmu ini pengangguran, dan kamu lelah karena tak menemukan harapan apa-apa?
Aku merasa baru saja menjadi laki-laki paling cengeng, loyo, sensitif dan pengecut, menjadi laki-laki dengan nyali ciut.
Hai, aku! Lakukan sesuatu ! Kenapa kamu jadi onggokan sampah tak berguna? Cemburu pasti akan pernah dirasakan oleh siapa saja yang berpikir, tapi takkan pernah diperlihatkan oleh siapa saja yang lebih berpikir. Airin takkan membuatmu cemburu kalau kamu mampu membuatnya berpikir lebih baik tentang dirimu!
Begitu ya? Tapi apa yang akan membuatnya berpikir?
Ouw, ya! Aku paham!
Apa?
Aku harus membuatnya bangga menjadi pacarku, dan menghargaiku lebih dari yang pernah dia lakukan sebelumnya.
Caranya?
Aku harus bangga dengan diriku sendiri dan menghargai diriku sendiri lebih dari yang pernah kulakukan sebelumnya.
Apa itu cukup? Kecuali itu kamu itu harus bekerja, itu yang penting! Kebanggaan macam apa yang bisa diharapkan dari penganggur?
Duh, kalau hati kecilku saja sudah mengomel demikian, apalagi Airin…?
Siang berlalu dalam alur yang lebih tenang. Aku melihat Ibu pulang dari Sekolah tempatnya mengajar dengan senyum. Begitu juga Lia, dia mengulum senyumnya karena kembali menjadi yang terbaik di kelasnya. Aku mencoba ikut larut dalam suasana dua hati itu, meski suasana hatiku tak sejalan dengan mereka. Tapi lumayan, itu membuatku sedikit lebih tenang sekarang.
“Andi telepon nih!” Seru Lia, padahal aku ada didekatnya, menemaninya membuka kembali buku-buku pelajarannya. Lia menyerahkan teleponnya.
“Halo!”
“Kamu harus berangkat ke Bandung besok sore!” Tak ada basa-basi sedikitpun dari Andi, langsung pada ultimatumnya. “Harus berangkat! Kalau tidak aku mengundurkan diri dari posisiku sebagai temanmu!”
“Kutunggu di Stasiun lusa pagi!” Sambungnya lagi, tak ada sela untukku.
“Maksudmu?”
“Sudah! Aku sudah mati-matian berjuang demi satu tempat disini untuk kamu! berangkat dan titik! Aku sedang sibuk!”
Aku bingung, harus senang atau biasa saja. Harus jingkrakan atau merobohkan rumah ini sekalian untuk merayakan sedikit kegembiraanku.
“Kenapa kamu senyum-senyum sendiri? Sudah gila kamu?” Tanya Lia.
Ah, aku tak peduli sekarang. Jangankan dikatakan gila, Airin diambil laki-laki itu juga aku takkan ambil pusing lagi. Rasa cemburuku sudah hilang, dan aku tak ingat lagi rasanya seperti apa…


Magelang, Mei 2012
Cerpen ini dan cerpen-cerpen lain karya Adri Wahyono juga bisa dibaca di www.kompasiana.com/adriwahyono

Load disqus comments

0 komentar