Pagi ini aku baru sadar kalau ternyata aku juga bisa
cemburu. Meski aku mengakuinya dengan berat hati. Hingga semalam aku masih
enggan mengakui itu, dan bertahan untuk mengukuhkan diri sebagai laki-laki
paling toleran dan cuek.
Tapi ketika bangun dan teringat akan laki-laki
ganteng yang memboncengkan Airin dua hari lalu, yang memicingkan matanya padaku
dan Airin menggelayut mesra, aku jadi tak yakin kalau aku tak terbakar hawa
panas yang bernama cemburu…
Mungkin benar laki-laki ganteng itu temannya dan tak
ada apa-apanya. Tapi aku tak yakin jika laki-laki itu, tak naksir Airin!
“Oke, aku kalah, aku cemburu. Tapi, kamu tak
selingkuh kan?” Aku menceracau sendiri dalam gelisahku di tepi kasur.
“Kamu masih kuat bertahan kan Airin? Kamu belum akan
meninggalkan aku bukan?”
Aku bangkit dan melihat diriku sendiri di kaca
cermin.
“Kamu mulai tak percaya diri karena pacarmu ini
sampai detik ini masih pengangguran, dan entah hingga berapa milyar detik ke
depan?”
Entahlah, mungkin memang benar bahwa menganggur akan
membuat orang menjadi sensitif. Mungkin aku tak akan cemburu kalau aku ini,bekerja
! Dan, punya uang! Jangankan melihat Airin dibonceng laki-laki itu, Airin
diambil pun mungkin tak akan membuat aku menganggapnya sebagai kiamat dunia,
walaupun sampai saat ini memang hanya Airin yang terbaik untukku, dan mengerti
aku. Tapi ada kan gadis lain yang mungkin lebih baik darinya?
Ya! Tapi sekali lagi itu kalau aku bukanlah
penganggur ! Dalam kenyataan yang tak sejalan ini, pagi menjadi terasa mungkin
seperti pagi di Pearl Harbor, saat serangan udara Kamikaze bagaikan ribuan lebah yang memporak-porandakan pasukan
Amerika yang masih leha-leha.
Ini tidaklah baik untukku. Aku jadi enggan untuk
mandi. Yang terlintas dibenakku hanya ingin marah. Mulutku hampir tak berhenti
bergumam, sebelum akhirnya aku sadar bahwa ini tak menyelesaikan apapun,
kecuali menambah beban mentalku.
Semangkuk Mie Instan kemudian sejenak membuatku bisa
meredakan kegelisahan yang tiba-tiba menggerayangi di pagi yang sebenarnya
cerah ini. Membuatku lupa untuk mencuci muka dan… mungkin ini poin jelek lain
dari penganggur. Sensitif, gelisah, dan selalu lapar…!
Masuk akal kalau Airin mulai tak percaya diri.
Mungkin saat ini dia tengah berpikir untuk mempertimbangkan lagi soal posisinya
sebagai pacarku, karena melihat aku yang terus menerus deadlock.
Sayangnya tivi yang kunyalakan kemudian malah
membuatku kembali pada kegelisahan yang sempat mereda itu. Entah itu sindiran
untukku atau aku yang terlalu dalam berpikir. Hampir setiap stasiun tv
menyajikan menu gosip orang terkenal tentang romantika kehidupannya,
perselingkuhan, perceraian, yang bagiku sangat mengerikan untuk ku tonton saat
ini.
Kalau aku orang terkenal, mungkin wartawan-wartawan
itu akan datang padaku dan memenuhi teras rumahku.
“Bagaimana tanggapan anda tentang Airin yang
berboncengan mesra dengan laki-laki ganteng itu tempo hari?”
Apa yang akan aku katakan ? apa aku harus
ikut-ikutan bersikap pura-pura cuek dan sok gentle dengan mengatakan bahwa aku
biasa-biasa saja dan meyakinkan mereka bahwa itu hanya teman Airin, sementara
aku sebenarnya cemburu dan bukan main gelisahnya aku karena itu.
Apa kabar hati kecilku?
Apa?
Aku cemburu! Kata itu terus bergema berulang-ulang
di dinding hatiku.
Apa yang akan kamu katakan Airin, kalau aku
ceritakan kegelisahan ini, rasa cemburu ini. Kamu akan tersanjung dan
menguatkan peganganmu pada keyakinan janji kita, lalu kamu mencoba meyakinkanku?
Atau akan kamu picingkan matamu yang bening itu dan kamu tambah dengan senyum sinis
karena pacarmu ini pengangguran, dan kamu lelah karena tak menemukan harapan
apa-apa?
Aku merasa baru saja menjadi laki-laki paling
cengeng, loyo, sensitif dan pengecut, menjadi laki-laki dengan nyali ciut.
Hai, aku! Lakukan sesuatu ! Kenapa kamu jadi
onggokan sampah tak berguna? Cemburu pasti akan pernah dirasakan oleh siapa
saja yang berpikir, tapi takkan pernah diperlihatkan oleh siapa saja yang lebih
berpikir. Airin takkan membuatmu cemburu kalau kamu mampu membuatnya berpikir
lebih baik tentang dirimu!
Begitu ya? Tapi apa yang akan membuatnya berpikir?
Ouw, ya! Aku paham!
Apa?
Aku harus membuatnya bangga menjadi pacarku, dan
menghargaiku lebih dari yang pernah dia lakukan sebelumnya.
Caranya?
Aku harus bangga dengan diriku sendiri dan menghargai
diriku sendiri lebih dari yang pernah kulakukan sebelumnya.
Apa itu cukup? Kecuali itu kamu itu harus bekerja,
itu yang penting! Kebanggaan macam apa yang bisa diharapkan dari penganggur?
Duh, kalau hati kecilku saja sudah mengomel
demikian, apalagi Airin…?
Siang berlalu dalam alur yang lebih tenang. Aku
melihat Ibu pulang dari Sekolah tempatnya mengajar dengan senyum. Begitu juga
Lia, dia mengulum senyumnya karena kembali menjadi yang terbaik di kelasnya.
Aku mencoba ikut larut dalam suasana dua hati itu, meski suasana hatiku tak
sejalan dengan mereka. Tapi lumayan, itu membuatku sedikit lebih tenang
sekarang.
“Andi telepon nih!” Seru Lia, padahal aku ada
didekatnya, menemaninya membuka kembali buku-buku pelajarannya. Lia menyerahkan
teleponnya.
“Halo!”
“Kamu harus berangkat ke Bandung besok sore!” Tak
ada basa-basi sedikitpun dari Andi, langsung pada ultimatumnya. “Harus
berangkat! Kalau tidak aku mengundurkan diri dari posisiku sebagai temanmu!”
“Kutunggu di Stasiun lusa pagi!” Sambungnya lagi, tak
ada sela untukku.
“Maksudmu?”
“Sudah! Aku sudah mati-matian berjuang demi satu
tempat disini untuk kamu! berangkat dan titik! Aku sedang sibuk!”
Aku bingung, harus senang atau biasa saja. Harus
jingkrakan atau merobohkan rumah ini sekalian untuk merayakan sedikit
kegembiraanku.
“Kenapa kamu senyum-senyum sendiri? Sudah gila
kamu?” Tanya Lia.
Ah, aku tak peduli sekarang. Jangankan dikatakan
gila, Airin diambil laki-laki itu juga aku takkan ambil pusing lagi. Rasa
cemburuku sudah hilang, dan aku tak ingat lagi rasanya seperti apa…
Magelang,
Mei 2012
Cerpen ini dan cerpen-cerpen lain karya Adri Wahyono juga bisa dibaca di www.kompasiana.com/adriwahyono
0 komentar