Jumat, 13 Februari 2015

Eksekusi

Dadanya berdebar keras. Jauh lebih keras dari debaran terkeras yang pernah dirasakannya. Ia pernah mengalami ini dalam banyak peristiwa dalam hidupnya. Dulu ia pernah begitu berdebar membayangkan wajah ayah ketika ia berkelahi dan pulang membawa serta memar lukanya. Atau, saat pemilik pohon kelapa berteriak-teriak dan ia masih berada di antara pelepah kelapa dengan kaki gemetar hebat dan dada berdebar.
Tapi malam ini sungguh berbeda. Debaran yang ia rasakan diselipi rasa ngilu yang sangat. Jika saja boleh menolak, atau melimpahkan apa yang harus dilakukannya malam ini pada orang lain. Tapi ia telah berada di antara kawan-kawannya yang juga diam. Sedikit ia mencoba memikirkan apakah kawan-kawannya merasakan hal yang serupa dengannya. Ia ingin sekali bertanya, tapi tak bisa. Tak jawaban untuk pertanyaan seperti itu malam ini. Tak seorang pun akan memberikannya, meski seseorang itu memilikinya dan tak cukup muat ruang di hati menyimpannya.

Ia tahu, mungkin ia akan mendapatkan senapan dengan peluru kosong. Tapi kemungkinan itu sama besarnya dengan kemungkinan peluru tajam akan melesat dari senapan yang ia tarik pelatuknya, menembus dinding udara dengan tajam sebelum menembus jantung seseorang dengan kejam.

Ngilu. Seperti itu yang semakin terasa dalam debarannya. Maafkan aku, Tuhan. Maafkan aku, siapa pun kau, kawan! Waktu yang mempertemukan kita dalam kebisuan ini nanti. Aku adalah seorang prajurit. Begitulah cara prajurit hidup. Seperti kau, yang memilih jalan itu sebagai cara kau hidup. Dan kita bertentangan. Kau mengambil harta seseorang dan membunuhnya perlahan, tapi kejam. Aku, melindungi semua orang adalah pekerjaanku.

Apa boleh buat, begitulah drama tercipta. Kau, aku, malam ini sama-sama diguncang ketakutan, dengan nama yang berbeda.

"Kalian akan melaksanakan tugas malam ini. Apapun namanya, begitulah tugas kita yang diberikan negara. Mungkin ini akan terlihat sebagai sesuatu yang kejam. Tapi jika ini tidak negara lakukan, merekalah yang akan merajalela membunuhi teman-teman kita, saudara-saudara kita, anak cucu kita dalam diam yang jauh lebih kejam. Terkadang begitulah cara membasmi penyakit, kita mencari di mana kuman berada, dan menyingkirkannya,"

Kata-kata sang komandan yang lirih tapi tegas dan jelas membuatnya sedikit kuat. Mungkin kawan-kawannya juga merasakan hal yang sama, atau barangkali, ada seorang atau dua orang yang sungguh-sungguh menantikan saat-saat ini, dan senang hati menerima tugas ini. Mungkin pula aku yang cengeng karena sedari aku tahu akan mendapat tugas ini, aku terus berpikir tentang rasa kasihan.

Angin semilir yang basah cukup kuat menembus pakaian seragamku. Suaranya seakan menirukan rasa ngilu yang terselip di antara debaran di dada. Aku telah berdiri dengan senapan di tanganku. Di kiri dan kananku telah berdiri pula kawan-kawanku dengan pakaian yang sama, dan senapan yang sama. Mungkin yang berbeda hanya peluru yang ada di senapan kami masing-masing. Aku masih berharap, aku akan menembakkan peluru kosong.
Di depan sana seseorang dengan kepala tertutup kain berdiri. Entah apa yang dipikirkannya saat ini. Saat maut mulai mengitari untuk menjemputnya. Apakah kau menyesal, kawan? Atau, tak ada sesuatupun yang kau rasakan karena kau pikir, kau pun akan mati walaupun kau tak melakukan kekejaman itu? Apakah kau pasrah? Atau masih mencoba untuk berpikir lari?

Hmmm, entahlah. Menurutku, kau memang hanya akan membuat masalah saja jika kau dibiarkan berkeliaran. Begini saja, semoga hukuman mati ini mengurangi timbangan dosamu di sana. Aku harus membangun kemarahan padamu sekarang juga. Rasa ngilu ini membuatku menjadi lembek. Jika semua prajurit sepertiku, kau akan tertawa, dan kawan-kawanmu akan bersuka hati membunuhi setiap orang.

Itu tak boleh terjadi.

Aba-aba kudengar dan aku mulai mengangkat senapanku dan mengarahkan ke arah jantungnya. Debaran semakin keras dengan hatiku yang kini mengeras. Rasa ngilu sejenak menyelinap entah di mana.
Aba-aba kembali terdengar dan aku bersiap dengan mata terpicing. Moncong senapanku mengarah tepat ke jantungnya sebagaimana insting menembakku selama ini. Aku belum pernah lagi meleset dalam menembak.

"Tembak!"

Maafkan aku, Tuhan.
Maafkan aku, kawan.

Apa boleh buat, beginilah drama tercipta.

"Dor!"

Perasaanku luruh, debaranku memuncak dan akhirnya luruh bersama dengan terkulainya seseorang di depan sana. Ia roboh oleh peluru dari...kami! Beberapa orang dari Tim Medis berlari mendekatinya untuk memastikan kondisinya. Aku berharap dia telah mati sekarang ini, bukan sekarat.
Tiba-tiba aku berharap, peluru tajam itu berasal dari senapanku sendiri.


Pati, Februari 2015

Load disqus comments

0 komentar