Hampir setengah jam sudah aku kontraksi, tapi aku
belum juga bisa melahirkannya.
Hati
kecilku terus memompakan semangat, ‘Tarik
nafas! keluarkan!’, begitu sedari tadi, tapi sulit sekali ! aku bahkan tak
tahu aku akan bisa melahirkan atau tidak akhirnya. Keringat dingin mengalir
melalui telapak tanganku, telapak kakiku. Mungkin aku seperti spons yang mengandung air saat ini.
‘Kau bisa!’
hati kecilku masih dengan teriakan-teriakan semangatnya, sedang aku tetap kelu
terpaku oleh keraguan, kecemasan dan ketakutan, yang bergumpal-gumpal seakan
awan hitam yang membentuk sesosok yang menakutkan.
‘Kau berlebihan jika membayangkan itu, kau hanya
perlu lahirkan saja! setelah itu semua akan baik-baik saja!’
‘Ah, aku tak bisa!’
entah seperti apa aku kelihatannya dengan kata-kata yang baru saja terucap
lemah di dasar hati itu, tanpa seorangpun mendengarnya kecuali hati kecilku.
Siapapun akan mentertawakanku.
‘Kau bisa! lahirkan saja…sekarang!’
Riuh
suasana dalam hatiku, hiruk pikuk di benakku, dan carut marut dalam pikiranku.
Beratnya melahirkan ini…
‘Kau akan menunggu apalagi?’
suara hati kecilku mulai terdengar kesal dan tidak sabar.
‘Kau tahu, aku tak bisa…’
‘Kau akan membuat ini sia-sia lagi?’
Tidak!
‘Lalu apa lagi yang kau tunggu? kau tak bisa terus
membiarkan ketakutanmu bergulung-gulung lebih dahsyat lagi, kau sudah selalu melewatkan
saat-saat terbaik untuk ini, jangan lakukan itu sekali lagi! ini adalah saat
terbaik, kau mungkin takkan mendapatkannya lagi…!’
Takkan
ada lagi? benarkah?
Kekuatan
dan keberanianku beterbangan dan lalu berserakan, hati kecilku masih terus
mengaisnya satu persatu untuk menyatukannya kembali… hampir kelelahan. Aku tak
yakin akan bisa melahirkannya saat ini.
Hati
kecilku mulai terengah-engah, aku merasakannya. Usahanya untuk membidani agar
aku bisa melahirkan sekali ini sepertinya akan kembali gagal. Aku mulai
mengutuk diriku sendiri yang pengecut, diriku yang cengeng.
Tak
ada nyali sama sekali.
Kenapa
ini adalah sesuatu yang selalu hampir tak pernah bisa aku lakukan ? Jika sekali
dalam hidup pun takkan pernah aku lakukan, pantaskah aku berharap masa depan yang
menyenangkan dalam damai, dan dalam pelukan cinta ?
‘Kau harus memaksakannya…kau ingin mati tanpa pernah
bisa melahirkannya?’ dalam kelelahannya,
hati kecilku masih mencoba meneruskan misinya. Membidani saat-saat aku
melahirkan.
Puluhan
kali sudah aku memilih mundur, dengan penyesalan menghantui dan tak hentinya
aku merutuki diriku sendiri. Aku benar-benar tak ingin sekali ini aku kembali
terdampar pada keadaan yang sama karena ketakutanku, kecemasanku…
Aku
melihat hati kecilku sudah pasrah dengan kenyataan akan diriku.
“Dik
Maya…”
Degup
jantungku menyentak-nyentak membuatku serasa akan pingsan. Hati kecilku bersemangat
lagi, ‘Hei…kau akan lakukan itu?’
Maya
memandangku dengan tatapan dari sepasang matanya yang indah. Bulu mata itu
melentik-lentik menyipratkan pesonanya. Kedua mata itu berbinar-binar…aku kian
terpesona, tapi terlalu dalam jurang ketakutan ini…sementara aku terlanjur
jatuh ke dalamnya.
“Maukah
kau…?”
Maya
mengangkat alisnya, dengan tatapan kian berbinar. Wajah cantiknya membuatku
takut. ‘Pembukaan terakhir, keluarkan!
keluarkan!’ hati kecilku kembali bangkit dari pasrahnya, ‘Ayo! kau bisa! kau bisa! kau bis….’
“Menikah…denganku?”
‘Ya…kau bisa! apa kataku, kau bisa! lihat kedua
matanya…!’ aku seperti melihat, hati kecilku
bersandar lega pada dinding.
Wajah
Maya tampak memerah, aku menanti penuh kecemasan. Apa yang akan dikatakannya
setelah drama melahirkan yang konyol ini? melahirkan sebuah ungkapan yang bukan
main sulitnya.
Maya
menggigit bibirnya, ada rona malu yang tertangkap pandangan mataku. Belum lagi
ada jawaban, tapi aku ingin sekali saja menarik nafas lega. Sebentar kemudian
senyum sipu terbit di bibirnya.
“Mengapa
sepertinya ini sulit sekali bagimu Mas?”
“Kau
merasakan itu?” aku bertanya terbata. Maya mengangguk pelan dan pasti.
“Aku
sudah menantinya Mas…kupikir kau senang membuatku menunggu, tapi ternyata aku
melihat ternyata kau harus berjuang untuk ini.“
“Aku…”
“Takut?”
Maya
menahan senyum dengan masih menggigit bibirnya. Aku memberanikan diri melihat
wajahnya lekat-lekat. Sesuatu yang sebelumnya tak pernah bisa kulakukan. Kucari
sesuatu yang mungkin bisa menjadi tanda bahwa akan ada jawaban melegakan.
“Aku
terlalu tua untuk ini…” ujarku sambil menekuri ujung sepatuku. Kudengar Maya
tertawa kecil.
“Mas
merasa terlalu tua untuk ini…kalau begitu Mas juga tak terlalu berharap banyak?”
pertanyaan Maya mengusik perhatianku, kupandangi lagi wajahnya.
“Aku
menunggu jawaban Dik Maya!”
“Bukankah
kau sudah mendapatkan jawabannya Mas?”
“Jawaban?”
“Mas
pikir kalau jawabannya berbeda, aku akan menunggu sampai Mas bisa mengatakan
itu tadi? kau terlalu lama mengatakannya…!”
“Aku
bisa menemukannya, tapi apakah aku tak boleh mendengarnya?”
Maya
tersenyum,”Aku mau, kau menjadi ayah untuk bidadari kecilku Mas!”
Rasanya
ingin sekali berjingkrak, atau berguling di rumput dan berteriak-teriak. Tapi
aku melihat, hati kecilku mencibir,’Silakan
saja kalau kau tak malu sama umurmu!”
Ah,
terlalu lama aku berkelahi melawan gulungan awan keraguan, ketakutan dan
kecemasan, padahal semestinya itu tak perlu harus aku lakukan jika saja aku
melakukan saja apa yang di katakan hati kecilku tanpa henti, hingga dia begitu
kelelahan.
Benar,
ternyata akhirnya semua baik-baik saja dan melegakan. Apakah melahirkan
perasaan memang sesulit ini? atau nyaliku seperti onggokan jerami yang mudah
terbakar dan habis seketika…?
Ah,
kalau saja aku bisa melakukan itu sejak dulu, mungkin aku akan mengecap cinta
pertamaku yang cinta monyet itu, dengan tak bertepuk sebelah tangan. Atau
cinta-cinta selanjutnya, yang mana tak satupun berbalas.
Aku
terlalu mudah untuk kagum dan menjatuhkan cinta, lalu merangkai angan.
Menuliskannya seakan kisah itu telah terjalin, sementara kenyataan yang mengiringinya
adalah sebaliknya. Aku selalu menolak anggapan mereka bahwa aku takut pada
wanita, tapi sekali waktu aku terpaksa mengakuinya, ketika kadang aku merasa
bahwa kenyataan itu adalah benar.
Dan
ketika itu akhirnya bisa aku lakukan, dan mendapat cinta pertama yang berbalas,
umurku telah menjelang empat puluhan. Tapi kenyataannya, itu tetap sangat
membahagiakan. Meski itu mungkin terlambat, dan meski Maya adalah seorang Ibu
bagi bidadari kecilnya. Bidadari yang ditinggal pergi ayahnya…
Magelang,
Agustus 2012
Cerpen ini dan cerpe-cerpen lain karya Adri Wahyono dapat dibaca di www.kompasiana.com/adriwahyono
0 komentar