Minggu, 13 Juli 2014

Detik-detik Drama Melahirkan

Hampir setengah jam sudah aku kontraksi, tapi aku belum juga bisa melahirkannya.

Hati kecilku terus memompakan semangat, ‘Tarik nafas! keluarkan!’, begitu sedari tadi, tapi sulit sekali ! aku bahkan tak tahu aku akan bisa melahirkan atau tidak akhirnya. Keringat dingin mengalir melalui telapak tanganku, telapak kakiku. Mungkin aku seperti spons yang mengandung air saat ini.

Ini sangat menyiksa…aku ketakutan.

‘Kau bisa!’ hati kecilku masih dengan teriakan-teriakan semangatnya, sedang aku tetap kelu terpaku oleh keraguan, kecemasan dan ketakutan, yang bergumpal-gumpal seakan awan hitam yang membentuk sesosok yang menakutkan.

‘Kau berlebihan jika membayangkan itu, kau hanya perlu lahirkan saja! setelah itu semua akan baik-baik saja!’

‘Ah, aku tak bisa!’ entah seperti apa aku kelihatannya dengan kata-kata yang baru saja terucap lemah di dasar hati itu, tanpa seorangpun mendengarnya kecuali hati kecilku. Siapapun akan mentertawakanku.
‘Kau bisa! lahirkan saja…sekarang!’

Riuh suasana dalam hatiku, hiruk pikuk di benakku, dan carut marut dalam pikiranku. Beratnya melahirkan ini…

‘Kau akan menunggu apalagi?’ suara hati kecilku mulai terdengar kesal dan tidak sabar.

‘Kau tahu, aku tak bisa…’

‘Kau akan membuat ini sia-sia lagi?’

Tidak!

‘Lalu apa lagi yang kau tunggu? kau tak bisa terus membiarkan ketakutanmu bergulung-gulung lebih dahsyat lagi, kau sudah selalu melewatkan saat-saat terbaik untuk ini, jangan lakukan itu sekali lagi! ini adalah saat terbaik, kau mungkin takkan mendapatkannya lagi…!’

Takkan ada lagi? benarkah?

Kekuatan dan keberanianku beterbangan dan lalu berserakan, hati kecilku masih terus mengaisnya satu persatu untuk menyatukannya kembali… hampir kelelahan. Aku tak yakin akan bisa melahirkannya saat ini.
Hati kecilku mulai terengah-engah, aku merasakannya. Usahanya untuk membidani agar aku bisa melahirkan sekali ini sepertinya akan kembali gagal. Aku mulai mengutuk diriku sendiri yang pengecut, diriku yang cengeng.

Tak ada nyali sama sekali.

Kenapa ini adalah sesuatu yang selalu hampir tak pernah bisa aku lakukan ? Jika sekali dalam hidup pun takkan pernah aku lakukan, pantaskah aku berharap masa depan yang menyenangkan dalam damai, dan dalam pelukan cinta ?

‘Kau harus memaksakannya…kau ingin mati tanpa pernah bisa melahirkannya?’ dalam kelelahannya, hati kecilku masih mencoba meneruskan misinya. Membidani saat-saat aku melahirkan.

Puluhan kali sudah aku memilih mundur, dengan penyesalan menghantui dan tak hentinya aku merutuki diriku sendiri. Aku benar-benar tak ingin sekali ini aku kembali terdampar pada keadaan yang sama karena ketakutanku, kecemasanku…

Aku melihat hati kecilku sudah pasrah dengan kenyataan akan diriku.

“Dik Maya…”

Degup jantungku menyentak-nyentak membuatku serasa akan pingsan. Hati kecilku bersemangat lagi, ‘Hei…kau akan lakukan itu?’

Maya memandangku dengan tatapan dari sepasang matanya yang indah. Bulu mata itu melentik-lentik menyipratkan pesonanya. Kedua mata itu berbinar-binar…aku kian terpesona, tapi terlalu dalam jurang ketakutan ini…sementara aku terlanjur jatuh ke dalamnya.

“Maukah kau…?”

Maya mengangkat alisnya, dengan tatapan kian berbinar. Wajah cantiknya membuatku takut. ‘Pembukaan terakhir, keluarkan! keluarkan!’ hati kecilku kembali bangkit dari pasrahnya, ‘Ayo! kau bisa! kau bisa! kau bis….’

“Menikah…denganku?”

‘Ya…kau bisa! apa kataku, kau bisa! lihat kedua matanya…!’ aku seperti melihat, hati kecilku bersandar lega pada dinding.

Wajah Maya tampak memerah, aku menanti penuh kecemasan. Apa yang akan dikatakannya setelah drama melahirkan yang konyol ini? melahirkan sebuah ungkapan yang bukan main sulitnya.

Maya menggigit bibirnya, ada rona malu yang tertangkap pandangan mataku. Belum lagi ada jawaban, tapi aku ingin sekali saja menarik nafas lega. Sebentar kemudian senyum sipu terbit di bibirnya.

“Mengapa sepertinya ini sulit sekali bagimu Mas?”

“Kau merasakan itu?” aku bertanya terbata. Maya mengangguk pelan dan pasti.

“Aku sudah menantinya Mas…kupikir kau senang membuatku menunggu, tapi ternyata aku melihat ternyata kau harus berjuang untuk ini.“

“Aku…”

“Takut?”

Maya menahan senyum dengan masih menggigit bibirnya. Aku memberanikan diri melihat wajahnya lekat-lekat. Sesuatu yang sebelumnya tak pernah bisa kulakukan. Kucari sesuatu yang mungkin bisa menjadi tanda bahwa akan ada jawaban melegakan.

“Aku terlalu tua untuk ini…” ujarku sambil menekuri ujung sepatuku. Kudengar Maya tertawa kecil.

“Mas merasa terlalu tua untuk ini…kalau begitu Mas juga tak terlalu berharap banyak?” pertanyaan Maya mengusik perhatianku, kupandangi lagi wajahnya.

“Aku menunggu jawaban Dik Maya!”

“Bukankah kau sudah mendapatkan jawabannya Mas?”

“Jawaban?”

“Mas pikir kalau jawabannya berbeda, aku akan menunggu sampai Mas bisa mengatakan itu tadi? kau terlalu lama mengatakannya…!”

“Aku bisa menemukannya, tapi apakah aku tak boleh mendengarnya?”

Maya tersenyum,”Aku mau, kau menjadi ayah untuk bidadari kecilku Mas!”

Rasanya ingin sekali berjingkrak, atau berguling di rumput dan berteriak-teriak. Tapi aku melihat, hati kecilku mencibir,’Silakan saja kalau kau tak malu sama umurmu!”

Ah, terlalu lama aku berkelahi melawan gulungan awan keraguan, ketakutan dan kecemasan, padahal semestinya itu tak perlu harus aku lakukan jika saja aku melakukan saja apa yang di katakan hati kecilku tanpa henti, hingga dia begitu kelelahan.

Benar, ternyata akhirnya semua baik-baik saja dan melegakan. Apakah melahirkan perasaan memang sesulit ini? atau nyaliku seperti onggokan jerami yang mudah terbakar dan habis seketika…?

Ah, kalau saja aku bisa melakukan itu sejak dulu, mungkin aku akan mengecap cinta pertamaku yang cinta monyet itu, dengan tak bertepuk sebelah tangan. Atau cinta-cinta selanjutnya, yang mana tak satupun berbalas.

Aku terlalu mudah untuk kagum dan menjatuhkan cinta, lalu merangkai angan. Menuliskannya seakan kisah itu telah terjalin, sementara kenyataan yang mengiringinya adalah sebaliknya. Aku selalu menolak anggapan mereka bahwa aku takut pada wanita, tapi sekali waktu aku terpaksa mengakuinya, ketika kadang aku merasa bahwa kenyataan itu  adalah benar.

Dan ketika itu akhirnya bisa aku lakukan, dan mendapat cinta pertama yang berbalas, umurku telah menjelang empat puluhan. Tapi kenyataannya, itu tetap sangat membahagiakan. Meski itu mungkin terlambat, dan meski Maya adalah seorang Ibu bagi bidadari kecilnya. Bidadari yang ditinggal pergi ayahnya…

Magelang, Agustus 2012
Cerpen ini dan cerpe-cerpen lain karya Adri Wahyono dapat dibaca di www.kompasiana.com/adriwahyono
Load disqus comments

0 komentar